Jumat, 27 Mei 2011

Siapakah PROF. DR Damardjati Supadjar?




Yogyakarta tahun 1990. Kesaksian samar-samar ini bermula dalam sebuah ruangan bersekat triplek ukuran kecil yang dilabur dengan apu. Ruangan ini dipergunakan untuk sholat para mahasiswa di belakang kampus. Saat itu saya hadir saat untuk menjalani masa Opspek, atau masa perkenalan sebagai mahasiswa baru di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.

Di ruangan tersebut, kami dikumpulkan untuk mendengarkan ceramah dari PROF. DR Damardjati Supadjar. Pak Damar– begitu kami para mahasiswa menyebut—menyampaikan tema tentang pentingnya menuntut ilmu. "Pencari ilmu itu seperti detektif yang menyelidiki sebuah fakta, gejala, peristiwa lalu menyampaikan hipotesa, menguji dan akhirnya menemukan hubungan antar fakta sehingga kemudian mengambil kesimpulan," Ini adalah salah satu bahasan dari sekian gagasan yang disampaikan oleh Pak Damar saat itu.

Pak Damar menyampaikan dengan bahasa yang kami semua mungkin hanya bisa meraba-raba maknanya sepotong sepotong. Tidak seluruhnya bisa kami pahami karena keterbatasan pengetahuan kami. Namun sebagai pengantar untuk belajar tentang ilmu kebijaksanaan, uraian Pak Damar saat itu cukup inspiratif dan mampu menggugah semangat kami untuk bertempur memasuki rimba belantara filsafat yang rimbun dan berseluk beluk.

Perawakannya cenderung jangkung, tidak tegap, tidak gagah. Matanya cenderung sipit, sorotnya lembut. Menandakan dia bukan sosok yang perlu ditakuti, dipuja dan mengagung-agungkan KEAKUAN-nya. Bila berjalan cerderung menunduk dan tidak segan-segan mengangguk bila kebetulan berpapasan dengan orang lain. Gaya bicaranya lucu, kocak, cerdas, suka berkelakar, inspiratif dan jauh dari kesan angkuh.

Sosok yang santun ini kemudian dikenal publik sebagai penasehat spiritual Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, penceramah di berbagai forum, budayawan, narasumber diskusi majlis taklim keagamaan, guru besar UGM, penulis dan nara sumber di radio maupun koran. Wali kesepuluh di Jawa—kata Budayawan Emha Ainun Nadjib.

Pak Damar tinggal di Dusun Randujayan, Pakem, Sleman dekat lereng gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumahnya mungil dan sangat-sangat biasa. Pemandangannya indah dan hijau. Di sebelah rumahnya, berdiri semacam rumah gebyok sederhana berdinding bambu. Ini adalah tempat para mahasiswa berjualan Tahu Telupat, Magelang.

Konon, Pak Damar sengaja mendirikan usaha ini agar para mahasiswa bisa mencari uang untuk menghidupi kuliahnya tanpa tergantung oleh orang tua. Untuk mobilitasnya sehari-hari, setelah Pak Damar memiliki kecukupan rezeki, dia memakai mobil kesukaannya: FIAT BALITA. "Bawah lima juta" katanya berseloroh.

Dulu sebelum dia pindah ke Randujayan, dia menempati sebuah rumah lawas di Jalan Kaliurang, sekitar dua kilometer dari kampus. Ruang tamunya sederhana, ada satu-dua buku Jawa lawas yang menumpuk tidak beraturan. Di sebelah kursi tamu yang tampak kusam, sebuah sepeda motor vespa biru yang renta dimakan usia. Di pekarangan depan rumah yang sana-sini temboknya sudah mengelupas ini, tampak seonggok pasir dan anak Pak Damar yang bermain-main menghabiskan waktu di sini. Isteri Pak Damar menyambut kami dengan hangat. Menyuguhkan teh dan makanan kecil. Perempuan ini tampak biasa sekali. Tidak seperti para perempuan glamour yang berlimpah harta. Sebuah keluarga yang sangat bersahaja dan biasa-biasa saja.

Damardjati Kecil lahir di lereng utara Gunung Merbabu, tepatnya di desa paling utara Kabupaten Magelang sekitar tahun 1941. Di wilayah itu ada beberapa desa yang namanya ada kata "Sari", yaitu banjar Sari, Losari dan Nawangsari. Di Desa Nawangsari inilah Pak Damar sering menyertai sang ayah untuk nyekar ke makam seseorang yang dipercayai sebagai prajurit Diponegoro dari kesatuan Wirapati. Makam itu berada di sebuah perbukitan kecil…. "Saya bisa melihat hal-hal yang jauh, menerawang me masa-masa yang silam di sela-sela kisah kepahlawanan yang telah lalu. Untuk menjangkah ke depan sesuai dengan apa yang dijangka oleh orang-orang tua," tulis Pak Damar dalam bukunya NAWANGSARI.

Sebelum menjadi dosen, Pak Damar adalah seorang sopir colt yang narik penumpang dari sleman ke kampus pulang balik. Mungkin masa-masa yang cukup sulit ini dilaluinya sambil nyambi kuliah di Fakultas Filsafat. Ya, Pak Damar adalah mahasiswa pertama di fakultas yang terletak di sisi paling timur Kampus Bulaksumur tersebut. Entah bagaimana awalnya, Pak Damar kemudian menjadi dosen.

Di Fakultas Filsafat, Pak Damar adalah salah satu dosen Jurusan Filsafat Timur. Selain dosen, dia juga pernah menjadi Ketua Jurusan, hingga berlanjut sampai mendapatkan gelar guru besar (Profesor). Spesialisasinya mengajar mata kuliah Filsafat Ketuhanan. Nah, karena mengajar Filsafat Ketuhanan, maka pada kesempatan kali ini kami ingin memaparkan sekelumit pandangan beliau yang pernah kami dengar saat mengikuti mata kuliah yang cukup berat tersebut.

Kebetulan saya (Juga sahabat Sabda Langit dll) adalah salah satu dari beberapa mahasiswa yang dosen pembimbingnya adalah Pak Damar. Di fakultas kami, dosen pembimbing juga berperan juga sebagai orang tua yang membimbing laku spiritual kami. Mungkin agar kami tidak salah arah, kesasar dan akhirnya menjadi kurang waras alias gila. Dan meskipun akhirnya saya mengambil jurusan Filsafat Barat dengan fokus pada Filsafat Idealisme, namun sampai akhir studi kekaguman saya pada sosok inspiratif ini tidak pudar.

Nawangsari

Menurut Pak Damar, tujuan belajar filsafat adalah untuk NAWANGSARI. Yang artinya menjaring dan menyaring segala pandangan sampai kepada sari-sari esensi, yaitu hal-hal yang hakiki, yang sedalam-dalamnya, selanjut-lanjutnya. Proses manusia untuk menemukan esensi tersebut tentu terus berproses hingga akhir hayat. Penghayatan itu hendaknya sampai kepada hal-hal yang mencakup dimensi spasial (lahir-batin) dan temporal (awal-akhir).

Sebab, lanjut Pak Damar, badanku di dunia namun ruhku di tangan-Nya. Seperti sabda Nabi: Perkataanku itu syariat, perbuatanku itu tarekat, hatiku itu hakekat. Kelanjutannya adalah: RUH-ku itu makrifat. Mengapa Muhammad SAW itu nabi besar? Karena Muhammad itu bukan hanya nama diri, akan tetapi juga kualitas pribadi, yakni yang terpuji karena selalu memuji Allah. Sari sari segala sesuatu itu ialah puja dan puji untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam. Enaknya makanan itu lahiriah. Batiniah atau sarinya ialah La haula wa la quwwata ila bil-Lah.

Ilmu Ketuhanan

Manusia, menurut Pak Damar, karena welttoffen (keterbukaan umwelt—dunia) selalu ingin mengetahui atau mempelajari segala persoalan, menjawabnya satu persatu, mengoreksi kesalahan-kesalahan, menanyakan kembali jawaban yang semula seolah-olah sudah final tentang Tuhan, manusia dan lainnya. Sehingga lahirlah theologia (ilmu ketuhanan dalam rangka agama), theodicea (ilmu ketuhanan dalam rangka filsafat), serta theosofi (sebagai organisasi spiritual).

"Nama theofani yaitu pengejawantahan ilahi/tajalli secara langsung ternyata berlaku secara khusus bagi para nabi dan rasul-Nya. Semuanya secar sinkronik diakronik mewartakan risalah tauhid: La ilaha ilal-Lah" Secara tidak langsung, kata Pak Damar, kita juga menangkap pewartaan ilahi itu pada tata tertib alam, hukum-hukum alam, sebagai ayat-ayat-NYA yang obyektif menjadi percikan dari rahasia takdir-Nya dan ilmu pasti di sisi-Nya.

Oleh sebab itu, untuk mengenal Tuhan paling pas adalah menggunakan pendekatan relijius islami, Qurani, juga filsafati sehingga terkandung kemungkinan untuk tidak berhenti pada tingkat verbalis/kognitif, melainkan berlanjut kepada tingkatan psikomotor sebagai sebuah konspirasi total. La ilaha ilal-Lah Kalimat pernyataan LA ILAHA ILAL-LAH adalah tesis akbar, terbesar sepanjang masa, menyeru sekalian alam, rumus abadi, proklamasi kemerdekaan.

Menurut Pak Damar, kalimat ini bobot kualitatifnya melebihi seluruh petala langit dan bumi. Rumusan LA ILAHA ILAL-LAH ini dapat dibedakan menjadi dua. Sebagian yang menegasikan/menidakkan (nafi LA ILAHA) dan sebagian lagi mengafirmasikan/mengiyakan (isbat: ILA-LAH). Arti populernya: TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH. Tidak ada segala yang ada ini yang pantas disembah selain ALLAH.

Secara singkat, kita hanya akan membatasi diri pada tiga sistem, yaitu SISTEM KEBERADAAN (BEING/ORDO ESSENDI), SISTEM NILAI/ KUALITAS (HAVING/ ORDO COGNOSCENDI), dan SISTEM KERJA (BEHAVING/ORDO FIENDI), yang kesemuanya itu dicakup oleh NIAT KETAKWAAN (ORDO AGENDI). Artinya, sesungguhnya YANG BEKERJA, YANG HIDUP, YANG ADA itu semata-mata karena ALLAHU AKBAR. Allah bersumpah untuk itu dalam kita suci bahwa: KEBERADAAN, NILAI, KEHIDUPAN DI LUAR itu adalah MAIN-MAIN/PERMAINAN yang akan tampak sebagai fatamorgana. "Harus bisa membedakan dengan jelas antara kesungguhan Allah dengan ciptaan-Nya, dengan kehidupan manusia yang bermain-main," ujar Pak Damar.

Maka langkah yang perlu kita lakukan adalah penyucian diri dari segala praduga, anggapan yang keliru, paham yang salah yang merupakan kesalahan besar di pelupuk mata—fallacy of misplaced concreteness—mengutip A.N. WHITEHEAD, bapak filsafat proses.

Menurut Pak Damar, pendekatan matematis merupakan latihan yang baik untuk mengoreksi kesalahan tersebut, dengan menjawab pertanyaan misalnya: "Titik itu ada, apa tidak?" "Titik sesungguhnya tidak ada, kecuali dalam rangka garis. Artinya adanya titik itu bergantung pada adanya garis. Pada garis dapat ditampung titik yang jumlahnya tidak terhingga, dan seterusnya" Hubungan antara titik dan garis, pararel dengan hubungan antara garis terhadap bidang, bidang terhadap ruang, jadi hubungan antar dimensional. Kita akan mendapat petunjuk bahwa SEMESTA TIGA DIMENSI ini adanya bergantung pada REALITAS BERDIMENSI EMPAT, demikian seterusnya…..

Hubungan antara dunia dan akhirat, hubungan antara lahir dan batin, semestinya dipandang sebagai hubungan partialitas terhadap totalitasnya secara antar dimensional/transendental. Sebaliknya, yang superlatif mematerikan pesan imperatif kepada realitas di bawahnya, sebagai sesuatu yang imanen.

Nah, bagamiana kedudukan manusia? "Sungguh luar biasa, kata Pak Damar, karena MAN IS THE MEETING POINT OF VARIOUS STAGES OF REALITY. Manusia adalah titik temu dari beragam tingkat realitas. Ya, realitas itu bertingkat, kesadaran itu bertingkat, abstraksi juga bertingkat,"

Sebagai penutup, Pak Damar, mengakui ketidakmampuannya untuk menyimpulkan apa itu LA ILAHA ILAL-LAH. Sebab, "KALIMAT INI ADALAH KESIMPULAN DARI KESIMPULAN. Sesuatu hal yang memungkinkan kita membuat tali simpul baik yang berkekuatan tiada berhingga, sebagai THE DYNAMIC OF INNER STABILITY"

Maka, imbuh Pak Damar, Terbuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencapai hal itu, baik secara desentratif ataupun konsentratif, sambil menjaga kesadaran bergelombang alpha rythmic, meningkatkan diri bertutut-turut melalui pernyataan "LA HAULA WALA QUWWATA ILA BIL-LAH, INNA LIL-LAHI WA INNA ILAIHI RAJI’UN, LA ILAHA ILAL-LAH"

Inilah sedikit kenangan tentang sosok guru yang inspiratif. Pencari yang sampai sekarang tidak terlupakan. Meskipun mungkin kami tidak bisa lagi bertemu di dunia, semoga kelak di akhirat kami bisa bertemu lagi. (bersambung).

MEMAHAMI DAMARDJATI SUPADJAR (BAG 2)

Pada bagian yang lalu, saya menulis di blog ini tentang setetes kenangan dari seorang guru yang pernah menjadi bagian dari hidup saya, yaitu Prof Dr Damardjati Supadjar, Guru Besar Filsafat UGM. (Baca: GERIMIS KENANGAN DARI PENCARI YANG TERLUPAKAN).  Agar semakin jelas tentang sosok beliau, marilah kita telusuri secara lebih mendalam apa dan siapa dia. Pak Damar—begitu kami memanggil– sering mengutip pernyataan filsuf dari Amerika Serikat, Alfred North Whitehead. Ternyata, disertasi S-3 Pak Damar adalah tentang pemikiran-pemikiran Whitehead.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan salah satu hal yang sering dikutip Pak Damar tentang titik. Kata Whitehead, Tuhan bisa dinalar misalnya dengan mengandaikan adanya titik bergantung pada garis, garis pada bidang, bidang pada ruang dan seterusnya.

Alfred North Whitehead berkata, bahwa 2000 tahun yang akan datang, kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh ilmu pasti yang akhirnya semoga saja bisa semakin mengenal tentang Tuhan. Dari pemikiran Whitehead, kita bisa mendapatkan penjelasan tentang Tuhan dari yang hanya sekedar mistik menjadi lebih rasional.

Dalam kehidupan ini menurut Alfred, ada dua kutub yang saling berhubungan antara yang satu dan yang lainnya. Yaitu kutub nilai dan kutub fakta.

Kutub nilai adalah sesuatu yang selalu aktual tetapi tidak mengalami pemudaran dan tidak mengalami masa lampau. Dia sifatnya abadi. Sedangkan kutub fakta adalah sesuatu yang mengalami aktual dan mengalami pemudaran. Dia sifatnya tidak abadi, berarti dia mengalami masa lampau.
Disinilah yang oleh Whitehead disebut sebagai becoming and perishing (menjadi dan memudar). Kutub nilai antara lain indah, benar, baik dan lain-lain. Dialah yang selalu aktual dan tidak akan memudar sampai kapanpun. Nilai berada dalam batin.

Sedangkan segala yang tergelar didunia ini adalah fakta (lahir). Karena sifatnya yang lahir itulah dia mengalami aktual dan pemudaran. Kita mengambil contoh type-type merk sepeda motor, misalnya honda. Pada jamannya Astrea 800 adalah merk yang aktual dan indah. Tetapi setelah dibuatnya astrea prima, astrea 800 menjadi sesuatu yang lampau dan tidak lagi aktual. Demikian pula setelah astrea grand keluar, maka astrea prima menjadi barang yang lampau dan memudar. Mungkin saat jamannya astrea grand adalah barang dengan desain yang indah dan sempurna, tetapi tidak setelah ada astrea supra. Begitulah seterusnya.

Kita kembali ke kutub nilai dan fakta. Atau biar lebih mudah dalam pengucapan kita kembali ke lahir dan batin. Karena sifat nilai yang kekal dan abadi itulah maka pada hakekatnya manusia membutuhkan. Dan karena butuh maka manusia menyebutnya sebagai Tuhan. Coba kita sebut nama Tuhan dalam hati (maha benar, maha indah …).

Jika lahir dan batin dihubungkan maka akan terdapat sebuah garis. Dan disitulah sebuah titik berada. Dan manusia menjadi titik tengahnya. Sebagai titik yang berada di tengah maka manusia bisa memilih akan ke mana arah tuju hidupnya.

Misalnya sebagai contoh, Antara Banyuwangi (jawa timur/anggaplah lahir) sampai merak(Banten/batin) adalah sebuah garis, kita anggap yogyakarta adalah tengahnya. Dan diyogyalah terdapat titik itu berada.

Jika manusia memilih untuk berjalan ke arah merak(batin), maka sesungguhnya dia menuju ke sesuatu yang abadi yaitu Tuhan. Dan bila dia menuju ke arah banyuwangi (lahir) maka dia menuju ke arah yang materialistik. Semakin dia dekat dengan banyuwangi (lahir) maka dia semakin jauh dari Tuhan. Sampai dia sangat dekat dan sampai banyuwangi (lahir) dia semakin jauh dari Tuhan dan semakin tidak mengenal Tuhan. Dan dari sinilah atheis bermula. "Atheis bermula dari materialisme." Kata Whitehead

Jadi pergerakan kita ke arah lahir, adalah pergerakan kita menjauhi Tuhan. Dan semakin kita tidak mengenal Tuhan. Dan bila yang kita pilih adalah ke arah Tuhan, agamalah yang lebih dalam mengajarkan tentang nilai-nilai (Tuhan). Pergerakan kita menjauhi Tuhan akan membuat kemurkaan Tuhan.

"Kalau seseorang awam yang membuat pernyataan mengenai tembok rumahnya, maka pada umumnya pernyataanya semata-mata lahiriah, misalnya bahwa tembok putih. Sementara sang pemborong akan membuat pernyataan yang lebih "batini", misalnya "tembok itu anti gempa"

"Atas dasar keilmuwannya yang memahami penuh konstruksi kedalaman si tembok. Namun insinyur pengendali project memiliki "sesuatu" yang lebih "batini", yakni semacam "kekuasaan" menetapkan bahwa suatu gedung yang anti gempa, bisa jadi tidak anti project dan karenanya bisa runtuh oleh suatu project. Demikianlah maka Tuhan itu maha batin, menguasai segala, mengendalikan semua saja," kata pak Damar ***

 

Dua bagian tulisan sebelumnya tentang Prof Damardjati Supadjar mengangkat biografi sederhana serta Konsep Ketuhanannya (GERIMIS KENANGAN DARI PENCARI YANG TERLUPAKAN dan MEMAHAMI DAMARDJATI SUPADJAR). Artikel kali ini membahas tentang bagaimana agar Bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan. Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih dulu peran Sri Sultan di dunia.

Menurut Pak Damar, Kenapa Yogyakarta disebut daerah istimewa karena peran kosmis dan universal Sultan sebagai Kalifatullah. "Gelar Sultan tak ada duanya di dunia. Gelar itu beresensi pada istimewanya hati, spiritualitas. Keistimewaan itu se-analog dengan hati. Kalau hati baik, perbuatan dan keistimewaan juga akan menjadi baik. Demikian pula bila laku atau jalannya hati-hati, hasilnya juga akan baik dan selamat", ujarnya.

Menurut Pak Damar, keraton adalah lambang struktur manusia dengan segala konsep kesadaran sangkan paraning dumadi, sedulur papat lima pancer, kiblat papat lima pancer jalma limpat seprapat tamat. Makna Keraton menjadi sangat penting dan melekat di hati rakyat, karena Sultan dan Keraton masih memiliki atau memenuhi kualitas seperti yang tergambarkan dalam sanepo itu yang bersifat spiritual dan bermakna sangat mendalam.

Sanepo tersebut menyiratkan sebuah kearifan seorang pemimpin dan kesadaran illahi yang tinggi. Namun, lanjut Pak Damar, konsep keratuan Raja Jawa yang spiritual itu tidak dihayati secara sungguh-sungguh. "Kualitas kita ini masih sebatas raga. Maka, masih berjalan di tempat. Kesadaran kita masih kesadaran api, yang dengan demikian adalah kesadaran iblis di mana manusia tak pernah bisa sujud. Manusia itu terlena dengan aktifitas menjumlah dan menghitung, yang sebenarnya tidak akan pernah mencapai bilangan infinitum,"

Barangsiapa hendak njongko, njangkah, ujung jangka harus lebih tajam dari sebilah jarum. Padahal, terangnya, ketajaman jarum itu masih saja tumpul bila dilihat dengan mikroskop. Maka untuk bisa benar benar tajam, harus dengan hati, yakni ning nong. Artinya heningkan hati atau rasa. Dengan begitu, baru bisa mendapatkan bilangan nol. Tajam sejatinya tajam dan seimbang. "Barangsiapa bisa membagi bilangan nol, manusia baru akan bisa mbobot (mengandung) ruh, yakni janji Illahi. Karena itu, saya menekankan pentingnya sebuah revolusi spiritual, perang bratayudha. Perang besar antara raga dan jiwa."

Inilah yang seharusnya dilakukan oleh kita semua agar bisa lahir di dunia secara baru. Buah dari mbobot dan meteng-nya ibu. Dua istilah yang dalam bahasa Jawa berarti hamil atau mengandung. "Mbobot dalam bahasa Jawa juga bisa diartikan sebagai bobot yang berarti berat atau beban. Misalnya ketika perawan suci Maria yang tak pernah bersentuhan dengan lelaki tiba-tiba hamil, sang malaikat memberitahu, bahwa Maria bukannya sedang mbobot dalam pengertian terbebani. Tapi, justru terangkat oleh kuasa ruh.

Ketika seorang ibu hamil, pengertiannya bukan karena dihamili. Tapi, sang ibu yang memang sedang mbobot ilmu amal suaminya. Harus dibuktikan Agar bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan di berbagai bidang, Pak Damar memiliki pemahaman yang menarik. Yaitu para cendekiawan harus semakin gigih meneliti sebagai pertimbangan untuk membuat kebijakan.

"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pahlawan, yang darahnya memang mulia, dan dengan mengingat tinta atau kalam alim-ulama itu lebih mulia. Namun bila mulianya darah syuhada pahlawan itu sudah terbukti, lebih mulianya kalam alim-ulama masih harus dibuktikan. Kiranya tidak berlebihan, bila dikatakan Indonesia berjalan di tempat.

Agenda ‘pemindahan kekuasaan’ sebagaimana tersurat dalam teks proklamasi itu sedemikian dominan. Sehingga, agenda ‘dan lain-lain’ dalam teks proklamasi yang merujuk pada ranah budaya, spiritualitas, pendidikan, keadilan, kesejahteraan dan seterusnya, menjadi sekunder atau bahkan terabaikan. Padahal, semua itu terikat pada kualitas ‘kesaksamaan’ dan ‘dalam tempo sesingkat-singkatnya’.

Semua itu kata kuncinya adalah mutu, yang dalam filsafat Jawa harus berlaku bagi mereka yang sudah tua dan menimang putu atau cucu. Menurut Pak Damar, putu dalam bahasa Jawa juga disebut wayah, berkonotasi waktu. Kesemuanya itu tampak jelas pada kasus aktual di Jogjakarta, yakni wacana keistimewaan Jogjakarta yang terfokus pada kekuasaan kegubernuran.

Padahal, hakikat Keistimewaan Jogjakarta itu terutama terletak pada agenda ke-Khalifatullah-an (gelar Sultan Jogja), yang nilai raportnya istimewa (nilai A plus atau 10). Bila Indonesia berjalan di tempat, itu karena dunia juga berjalan di tempat. Dunia berjalan di tempat pada bahasa Tongkat Nabi Musa, Kalimullah, a.s. berupa ekonomi, politik dan teknologi. Padahal, setelah bahasa makluk yakni Tongkat Nabi Musa, segera disusul oleh bahasa Khalik, yakni bahasa Ruh, yang dipersonifikasikan oleh Kanjeng Nabi Isa, Ruhullah, a.s. Dunia jauh dari memahami bahasa Ruh tersebut.

Apa lagi, bahasa terpuji, penghubung makluk dan Khalik, akhlak, Ahmad-Hamid-Mahmud-Muhammad, sikap dan cara hidup Hamemayu Hayuningrat. Maka demi keistimewaan Qolbu tubuh organik ke-Indonesia-an, kita harus menjemput bola. Bukan menunggu datangnya Isa, Ruhullah dari langit. Tapi, membobot ulang firman yang mem-badan, Jiwa Kang Kajawi.

Dalam pandangan hidup Jawa, mbobot atau menimbang janji Kawula-Gusti itu jauh berbeda konotasinya dengan meteng, yang berkonotasi main main dengan weteng atau perut di kegelapan kesadaran peteng atau gelap, sehingga akibatnya meteng atau hamil. "Titik 0 (nol) sebagai lambang mbobot janji Kawulo-Gusti adalah inti Wuquf, yang bila paripurna segera akan diikuti oleh laku Waqaf. Justru laku waqaf itu dicontohkan oleh wanita yang mbobot, sedemikian rupa sehingga Surga itu terletak di telapak kaki ke-Ibu-an.

Indonesia yang ‘feminim’ menemukan landasan pada istilah ibu jari, ibukota, nomor induk, dan menemukan landasan formalnya pada term Ummul Kitab, yang disiplinnya disebut Ilmu Filsafat, induk segala ilmu," katanya. Ketika filsafat lahir di Ionia Yunani, wacana mitologis terhapus oleh pencerahan akal budi. Sedemikian rupa, sehingga Atlas yang semula nama Dewa, berubah menjadi Peta.

Nah, bagaimana supaya dunia tidak berjalan di tempat dan seolah-olah hanya mengolah fakta atau membaca fakta yang di tingkat SD untuk faktor, di SLTP untuk fungsi, di SLTA dan di Perguruan Tinggi untuk olah peran, yang sebenarnya semua itu hanya peran objek penderita?

Tak lain, kata Pak Damar, "modernisme harus berganti menjadi olah peran sebagai subjek pelaku. Koreksi makmum atas kesalahan Imam, yakni ungkapan subhanallah bagi kaum pria, menjadi tepukan paha bagi wanita. Itulah Filsafat Nareswari. Bila orang laku njangka, maka ujung jangkanya harus tajam dan seimbang, yakni titik 0 (nol). Dengan demikian, luas lingkarannya tak terhingga. Setiap poin, pun menjadi syah sebagai pusat semesta. Biarkanlah rakyat tidak ke mana-mana dan tetap ada di mana-mana. Vox Dei akan terungkap melalui Vox Populi, dan berkembanglah tradisi penemuan, dan Ratu Adil bukan omong kosong atau tinggal wacana. Tapi, ada karena ditegakkan bersama" ujarnya.

 
SAYUR LODEH PAK DAMAR (bagian 4)

Untuk melengkapi tulisan terdahulu, pada kesempatan kali ini penulis ingin berbagi soal pandangan Prof Dr Damardjati Supadjar tentang tradisi tolak bala. Berbeda dengan para penceramah yang sering kita dengar di mimbar-mimbar yang lebih cenderung berpikir hitam-putih dalam memandang tradisi tolak bala, Pak Damar lebih cenderung untuk memandang persoalan dari aspek positifnya. Dia memilih menyelami kenapa masyarakat melakukan sebuah upacara tradisi dan mengambil intisari serta makna yang terkandung dari sebuah fenomena budaya tersebut.

Apalagi masyarakat Jawa terkenal dengan kegemarannya untuk mengolah perilaku serta pikirannya. Kepribadian orang Jawa itu tercermin dalam digunakannya berbagai taraf bahasa mulai Krama Inggil yang halus hingga Jawa Ngoko yang cenderung vulgar, nakal dan lucu. Kecenderungan lain orang Jawa adalah kesukaannya untuk "otak atik gathuk", menghubung-hubungkan sebuah fenomena atau gejala alam dengan keberuntungan, musibah, atau pertanda. Menyadari akan tipologi, karakter, kepribadian orang Jawa yang seperti itu, Pak Damar tidak serta merta menolak. Justeru dia menggunakan jurus yang sama: "otak atik gathuk" untuk kemudian dibingkai dengan frame Agama dan disesuaikan dengan ajaran Ketauhidan.

Syahdan beberapa tahun lalu masyarakat Yogyakarta, terutama yang tinggal di bagian selatan was-was. Kekhawatiran muncul menyusul pengumuman Badan Meteorologi dan Geofisika akan kemungkinan terjadinya badai tropis di laut selatan pulau Jawa yang bisa menghantam Yogyakarta. Pengumuman itu tak pelak membuat sebagian besar masyarakat memilih menjauhi pantai. Misalnya, di desa Kanigoro yang berada di pinggir pantai, terdapat lebih dari 210 nelayan dan 100 pedagang pergi meninggalkan pantai. Arus pengungsian warga menjauh dari pantai sangat beralasan karena banyak warga trauma menyaksikan gempa dan gelombang tsunami dan lain sebagainya.

Sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa yang gemar untuk mengadakan upacara selamatan, saat itu entah bagaimana asalnya tiba-tiba masyarakat Yogyakarta memasak sayur lodeh dua belas macam, menanam uang seratus rupiah bergambar gunungan sebagai syarat tola bala di depan rumah dan hal-hal unik lainnya. Tidak hanya itu, masyarakat juga berebut air yang diambil dari tujuh sumber mata air untuk "keslametan". Berita ini tersiar luas dan sangat cepat. Lalu banyak masyarakat mempraktekkannya, bahkan di kantor-kantor banyak orang memasak sayur lodeh.

Sayur lodeh adalah sayur bersantan yang terdiri dari 12 macam bahan pokok, yaitu waluh (labu) kuning, kacang panjang, terong, kluwih, daun so, kulit mlinjo, jipang, kates muda, gori, kobis, bayung dan kecambah kedelai. Sayur ini biasanya dimakan dengan bubur. Bagi kalangan penceramah agama yang hitam-putih, ini bisa jadi dianggap bertentangan dengan ajaran Islam karena mengurangi kemurnian akidah. Di berbagai masjid, para dai men-cap praktik tradisi "tolak-bala" seperti itu dianggap bertentangan dengan "kemurnian" akidah.

Sadar akan kemelut keyakinan masyarakat yang berbeda mensikapi adanya ancaman badai tropis akidah di aras publik masarakat Yogyakarta tersebut, Pak Damar turun gunung untuk menyejukkan suasana. Dia diminta menulis artikel di koran Kedaulatan Rakyat, yang dimuat tanggal 6 Februari 2005.

Menurut Pak Damar, tradisi "tolak-bala" di atas bermakna untuk menggugah kembali semangat ke-dhiri-an, menyelami hidup, mawas diri serta mengkoreksi diri menghadapi situasi yang mutawatiri (mengkhawatirkan) masyarakat. "Sayur lodeh sebagai makanan terkait dengan kata "madhang" (makan). "Madhang" tidak sekedar makan secara lahir, tetapi sebuah laku mencari "pepadhang" atau jalan terang kehidupan agar selamat. Sebab sekarang ini situasi masyarakat sedang "peteng" (gelap). Sehingga sayur lodeh menjadi simbol masyarakat dianjurkan untuk mencari "pepadhang", mencari kebaikan, atau jalan terang," tulis Pak  Damar.

Dalam kondisi yang tidak menentu, tulis Pak Damar, filosofi Jawa menganjurkan manusia untuk kembali ke alam "madhang" sayur lodeh 12 macam.

Artinya, manusia hidup dalam suatu rangkaian upaya menangkap gelar atau agenda Ilahi. Untuk menangkap gelar atau agenda Ilahi manusia harus menangkap gelagat alam, di samping menangkap gelagat sesama, masyarakat di mana ia berada. "Angka 12, berjumlah tiga (1+2), dalam filosofi Jawa berarti upaya meraih kehidupan masyarakat yang "jinangkung-jinampangan" (dilindungi Allah yang maha kuasa). Sayur lodeh 12 macam dengan bahan utama waluh (dari kata uwal-luh) kuning berarti "uwal" (lepas), dari ‘luh’ (air mata); maksudnya membebaskan manusia dari tetes air mata, peluh atau penderitaan. Santan sayur kelapa hijau biasa digunakan oleh masyarakat tradisional untuk penawar racun. Santan dalam sayur ini juga menjadi simbol penawar racun duniawi. Kemewahan dunia tidak disadari oleh masyarakat telah menjadi racun." tulis Pak Damar. ***

5 komentar:

  1. salam hormat dan takzim saya pada Prof Damar.., ingin rasanya bertemu ma pak Damar..!

    BalasHapus
  2. semoga pemuda indonesia segera meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia.

    BalasHapus
  3. COPAS BLOG NYA ORANG TANPA IJIN...INI NAMANYA PLAGIAT, KEJAHATAN TINGKAT TINGGI.

    BalasHapus
  4. baca www.wongalus.wordpress.com. dari sini artikel ini diambil... hargai intelectual property right donk..

    BalasHapus